Era Baru Los Ches

Apresiasi besar patut dialamatkan kepada Manuel Llorente. Sejak menjabat sebagai presiden tahun 2009 lalu, ia mampu mengurangi hutang klub sebanyak 275 juta euro, meski harus menjual pemain-pemain terbaik Los Ches macam David Villa, David Silva dan Juan Mata. Llorente bukan sosok asing bagi Valencia. Sebelum menduduki kursi presiden, ia pernah menjadi manajer klub tahun 1999 hingga 2005.

Mundur jauh ke belakang, siapa tidak ingat armada yang berisi kuartet gelandang Francisco Farinos-Gaizka Mendieta-Kily Gonzalez-Gerard Lopez yang menopang duet Miguel Angel Angulo-Claudio Lopez? Rasanya sah jika pada masa jayanya, mereka lebih dari sekadar menggoyang singgasana duo Madrid-Barcelona, melainkan sempat mengkudetanya. Mereka memenangi dua trofi La Liga dan dua Copa Del Rey di kancah domestik. Tidak hanya bergelar jagoan domestik saja, Valencia juga merebut sebuah gelar Piala UEFA dan dua kali beruntun menembus final Liga Champions tahun 2000 dan 2001.

Valencia juga tidak pernah berhenti menghasilkan pemain handal. Selalu ada pengganti sepadan untuk pemain yang pergi. Pasca keberhasilan menembus final Liga Champions tahun 2000, mereka ditinggal Gerard ke Barcelona, Claudio Lopez ke Lazio dan Farinos ke Inter. Namun kepergian mereka ditambal dengan pembelian Vicente Rodriguez dari Levante, Roberto Ayala dari Milan dan Pablo Aimar dari River Plate. Mereka kembali menembus babak final Liga Champions sebelum dijungkalkan Bayern Muenchen lewat adu penalti. Setelah final tersebut, giliran Mendieta hengkang ke Lazio dan pelatih Hector Cuper merapat ke Inter Milan.

Presiden baru saat itu, Jaime Orti kemudian merekrut Rafael Benitez, pelatih yang baru saja membawa Tenerife promosi ke kasta teratas. Kepergian Mendieta membawa era baru. Benitez membangun kerangka kesuksesan dengan mendatangkan Carlos Marchena dari Benfica, Fransisco Rufete dari Malaga dan Salva Ballesta dari Atletico. Hasilnya, Valencia meraih gelar La Liga di musim perdana Benitez. Gelar La Liga berikutnya hadir dua tahun berselang.

Pekerjaan bagus dari manajemen terkait pembelian pemain dan pemilihan pelatih adalah kunci keberhasilan klub ini senantiasa menembus papan atas. Sebuah hal yang tentu saja tidak mudah jika anda harus bersaing dengan Real Madrid dan Barcelona beserta kekuatan uang dan pengaruh besar mereka.

Sayangnya, prestasi yang telah diukir di lapangan tidak diimbangi dengan pengelolaan keuangan yang sehat. Valencia membeli dan menggaji banyak pemain mahal demi prestasi. Imbasnya, hutang klub menggunung dengan jumlah 200 juta euro. Permasalahan berlanjut dengan seiring duduknya Juan Soler di kursi presiden tahun 2005.

Langkah pertama Soler adalah mendepak Llorente dari tim. Llorente dikenal vokal menentang kebijakan membeli pemain mahal tersebut. Soler lalu memanfaatkan kebijakan Beckham Law dengan cara banyak mendatangkan pemain-pemain asing. Dana transfer lebih dari 100 juta euro mereka belanjakan untuk mengikat pemain asing mahal semacam Marco Di Vaio dan Stefano Fiore. Rangkaian belanja tersebut tentu tidak hanya berakibat tingginya biaya transfer, namun juga membengkaknya biaya gaji. Akibatnya, hutang semakin menggunung.

Tidak cukup dengan pembelanjaan pemain, Soler juga mencanangkan rencana ambisius pembangunan stadion Nuovo Mestalla demi peningkatan pendapatan dan prestis. Semula, dana pembangunan stadion didapat dari pinjaman bank dan penjualan stadion lama Mestalla. Namun seperti diketahui kemudian, terjadi bubble property di negara Spanyol yang menyebabkan harga properti melambung tak terkendali. Stadion lama Mestalla tak kunjung terjual, sementara Bancaja (yang kemudian berganti nama menjadi Bankia) selaku kreditor  tidak memiliki dana untuk memberikan pinjaman. Proses konstruksi Nuovo Mestalla pun terhenti.

Di tengah pembangunan stadion, Soler masih saja melakukan tindakan inefisiensi. Tercatat pemain-pemain seperti Joaquin Sanchez, Francesco Tavano, Ever Banega, Manuel Fernandes, Nikola Zigic dan Javier Arizmendi datang dengan menguras keuangan senilai lebih dari 100 juta euro. Performa pemain-pemain ini tidak sebanding dengan harga dan gaji mereka. Prestasi Valencia kemudian mengalami kemunduran. Sejak meraih gelar La Liga terakhir tahun 2004, trofi juara baru datang lagi tahun 2007 yaitu Copa Del Rey, disusul Super Copa setahun kemudian. Namun prestasi buruk mereka ukir di La Liga dengan hanya menduduki peringkat 10.

Llorente kembali, kali ini sebagai presiden tahun 2009. Saat itu, ia diwarisi Soler dengan hutang 550 juta euro, atau nyaris tiga kali lipat sejak saat Soler menjabat sebagai presiden. Valencia juga memiliki rataan kerugian 20 juta euro per tahun. Llorente berusaha menciptakan stabilitas, baik di lapangan maupun finansial. Langkah pertama Llorente adalah mempertahankan Unai Emery di kursi kepelatihan. Hasilnya tokcer, Emery membawa Valencia stabil di zona Liga Champions selama tiga musim beruntun. Hal yang menambah pemasukan klub secara signifikan.

Di samping itu, Llorente mengambil langkah logis namun tidak populer yaitu menjual para bintang. Raul Albiol dijual tahun 2009, disusul David Villa dan David Silva tahun 2010, lalu Juan Mata tahun 2011. Penjualan mereka menghasilkan 110 juta euro. Ditambah pelepasan pemain bergaji tinggi namun bekontribusi medioker macam Zigic, Manuel Fernandez, Joaquin dan Asier Del Horno, pelan-pelan Valencia mengukir profit dan mengurangi hutang. Hutang Valencia sempat turun hingga menjadi 275 juta euro, atau turun setengahnya saat awal Llorente menjabat sebagai presiden.

Valencia era Llorente memang tanpa trofi. Namun penurunan hutang secara signifikan sekaligus menjaga stabilitas sebagai Valencia tim elit adalah sebuah jasa yang teramat besar. Ia juga berhasil meyakinkan kreditor untuk melanjutkan kucuran dana demi penyelesaian pembangunan Nuovo Mestalla.

Leave a comment