Udinese Model Sudah Ideal, Namun Butuh Modifikasi

Dua klub tertua di Italia adalah Genoa dan Udinese. Seiring waktu berlalu, dua klub ini terjebak di antara hegemoni raksasa-raksasa Italia, dua dari Milan dan satu dari Turin. Mediokritas harus mereka rasakan.

Udinese, seperti halnya Genoa, melakukan model bisnis trading pemain yang kurang lebih sama. Namun Udinese, lebih dari Genoa, melakukannya dengan sistematika yang telah terintegrasi dengan kebijakan klub lainnya. Jika kita melihat Genoa tidak konsisten, Udinese tetaplah stabil menduduki zona Eropa.

Giampaolo Pozzo adalah potret presiden klub Italia yang seperti halnya presiden klub Italia lainnya, tidak lepas dari skandal. Ia membeli klub itu dalam keadaan terhukum pengurangan poin terkait skandal yang menyeret mereka tahun 1985. Pengurangan sembilan poin pada era penghitungan poin lama (kemenangan hanya dihargai 2 poin) adalah jumlah yang terlalu banyak. Meski Pozzo mendatangkan pemain semisal bek Fulvio Colovatti, anggota tim juara dunia Italia empat tahun sebelumnya, jeratan degradasi tak terhindarkan.

Empat tahun kemudian, Pozzo terbukti bersalah dalam skandal pengaturan pertandingan yang melibatkan Udinese dengan Lazio. Hal ini mendongkelnya secara paksa dari posisi Chairman, meski status sebagai pemilik masih tetap disandang. Sejak saat itu, Udinese menjadi klub yo-yo yang wara-wiri ke Seri A dan Seri B. Tidak ingin lagi terjebak dalam permainan kotor, ia menggunakan cara lain. Sebuah cara yang kelak menjadikan klub ini menyandang julukan terhormat tidak resmi dalam dunia sepak bola, yaitu The Udinese Model.

The Udinese Model

Udinese tidak memiliki sumber dana memadai untuk bersaing dengan klub-klub raksasa, mereka hanya memiliki stadion berkapasitas 30 ribu penonton dan berada di kota berpenduduk 100 ribu jiwa. Sejarah dan tradisi kuat juga tidak punya. Alhasil, sulit bagi mereka menggaet sponsor premium dan kontrak besar hak siar televisi yang mampu membiayai pengeluaran tim.

Sudah banyak yang membahas tentang Udinese Model, namun tidak salah jika sebuah hal baik terus dibicarakan dan dibahas agar menjadi inspirasi. Model bisnis ini telah dimulai sejak tahun 1995, hal itu ditandai penggunaan sistem jaringan pemantauan pemain yang sangat efektif, lalu mendidik pemain-pemain itu hingga siap dijual dengan harga mahal.

Seperti kisah kesuksesan pada umumnya, Pozzo tidak melakukannya sendirian. Ia menjalankan model bisnis klubnya bersama anaknya, Gino dan juga seorang direktur olahraga yang ia transfer dari Pescara, Pierpaolo Marino. Marino inilah yang memilih pemain-pemain yang namanya telah disodorkan oleh tim pencari bakat. Ia juga turun tangan dalam negosiasi harga pemain dengan klub pemiliknya. Target pembeliannya adalah pemain hidden talents berusia muda, tidak lebih dari 23 tahun. Udinese juga memalingkan muka dari pemain-pemain muda asal Italia yang di samping lebih mahal, kebanyakan dari mereka juga telah berada dalam radar pemandu bakat klub-klub besar.

Cakupan pencarian bakat Udinese sangat luas. Amerika Latin, Afrika, kawasan Balkan dan Eropa Utara diutamakan, meski sempat juga mereka mendatangkan Winston Parks, pemain asal Kosta Rika yang berada di region Amerika Tengah. Untuk pemain Brasil, mereka tidak menggaetnya dari klub besar, tidak pula berebut membeli pemain-pemain yang sudah terkenal. Alih-alih mencari pemain ke klub Sao Paulo, Internacional atau Santos, mereka mencari pemain Brasil dengan bakat tak terdeteksi ke klub seperti Botafogo.

Keberhasilan Udinese Model diawali dengan Oliver Bierhoff, bomber asal Jerman yang kala itu direkrut dari Ascoli senilai 1 juta euro. Bersama Bierhoff dan di bawah asuhan pelatih Alberto Zaccheroni, Udinese meraih peringkat ketiga kompetisi musim 1997/1998. Bierhoff sendiri kemudian dijual ke Milan dengan nilai 10 kali lipat dari harga belinya.

Cerita Bierhoff ini kemudian berlanjut ke Marcio Amoroso. Amoroso dibeli Parma tahun 2000 dengan nilai transfer 28 juta euro, pendapatan transfer terbesar mereka yang masih bertahan hingga kini. Ada pula penjualan Stefano Fiore ke Lazio dengan nilai 25 juta euro, hingga penjualan Alexis Sanchez ke Barcelona dengan nilai 26 juta euro. Penjualan-penjualan tersebut menghasilkan pendapatan sekitar 400 juta euro sejak tahun 1996, atau kasarnya mereka menerima 23 juta euro per tahun dari sektor transfer, setengahnya dari pendapatan mereka yang kurang dari 50 juta euro.

Feeder Club, Penyekolahan Pemain, dan Kesuksesan yang Menular

Ada lagi cerita unik dari implementasi The Udinese Model. Para pemain yang pernah bermain untuk Udinese memiliki perjalanan karir yang kurang lebih sama. Didatangkan dengan harga murah dari klub tidak terkenal, dipinjamkan dulu ke klub lain, bermain baik di Udinese, dibeli mahal oleh klub besar, lalu meraih kejayaan di klub barunya. Bierhoff meraih scudetto di musim perdananya bersama Milan, sementara Alexis Sanchez juga meraih trofi La Liga bersama Barcelona. Udinese adalah batu loncatan yang sempurna.

Udinese tercatat memiliki 50 orang pemandu bakat dan memiliki kontrak dengan jumlah pemain yang juga sangat banyak. Mengingat mereka hanya membutuhkan sekitar 24-25 pemain dalam semusim, tentu saja kondisi ini mengakibatkan terjadinya surplus.

Pemain-pemain yang banyak didapat dari scouting ini tentu tidak semuanya dapat langsung terpakai. Seperti disinggung sebelumnya, mereka pada umumnya akan disekolahkan dulu ke klub lain sebelum dipandang siap menghuni skuat Udinese. ‘Penyekolahan’ itupun dilakukan dengan cermat. Alexis Sanchez misalnya, ia dibeli dari klub Chile, Cobreloa saat ia berusia 16 tahun dengan nilai 3 juta euro. Mereka tidak memboyong langsung sang pemain ke Italia, namun lebih dulu menyekolahkan sang wonderkid ke klub Colo-Colo dan River Plate yang secara geografis masih dekat dengan kampung halaman sang pemain. Mereka menyadari betul resiko yang timbul jika seorang pemain berbakat dibeli terlalu cepat. Setelah Sanchez dinilai siap, barulah ia diangkut ke Friuli. Hasilnya bisa dilihat sendiri.

Agar surplus pemain tersebut tidak mubazir, mereka juga menjalin kerjasama dengan dua klub, Granada dan Watford. Granada dipilih karena klub ini berbasis di Spanyol dan tentunya berbahasa Spanyol, bahasa yang sama dengan para pemain asal Amerika Latin. Keuntungan kesamaan bahasa dan budaya yang dimiliki Granada dinilai cocok dijadikan sebagai pelabuhan pertama seorang pemain Amerika Latin yang ingin berkarir di Eropa. Sementara Watford dipilih karena klub ini memiliki akademi pemain yang bagus. Kerjasama ini menguntungkan bagi masing-masing pihak. Udinese dapat mematangkan pemain-pemainnya, sementara Granada dan Watford mengalami peningkatan prestasi karena pemain-pemain pinjaman tersebut.

Udinese tidak hanya menghasilkan alumni pemain yang bagus, tapi juga staf yang kompeten. Marino, sang direktur olahraga, pindah ke Napoli tahun 2004 lewat bujukan Aurelio De Laurentiis. Sekarang, semua orang tahu berada di mana Napoli. Marino sendiri sejak 2012 telah pindah ke Atalanta untuk menjadi general manager. Kepindahan Marino berpotensi menjadikan Atalanta sebagai kekuatan menakutkan mengingat klub ini terkenal sebagai produsen pemain-pemain berbakat asli Italia.

Udinese juga menyajikan cerita menarik di Premier League. Ellis Short, pemilik Sunderland asal AS pada akhir musim lalu sempat mengambil langkah kontroversial dengan membubarkan tim pencari bakat klubnya. Ia kecewa dengan kinerja pemain-pemain yang didatangkan hasil rekomendasi tim pencari bakatnya. Short yang terkesan dengan model scouting Udinese lalu menarik Valentino Angeloni sebagai direktur olahraga klub. Angeloni adalah kepala pemandu bakat Inter Milan yang juga pernah menjadi bagian dari pemandu bakat Udinese.

Game Plan Baru

Seberapapun hebatnya sistem yang dibuat oleh manusia, pasti ada kelemahannya. Dan sudah sewajarnya kelemahan tersebut menjadi ruang untuk terciptanya inovasi baru. Udinese memang mampu menghasilkan profit dari penjualan pemain, berimbas pula pada neraca keuangan yang stabil. Namun permasalahan timbul setiap tahun karena mereka sering menjual pemain kunci tanpa mempersiapkan suksesor yang mumpuni.

Dengan demikian, mereka sangat bergantung pada dua sosok kunci, yaitu pelatih Francesco Guidolin dan kapten Antonio Di Natale. Dua orang ini selalu menjadi katalis performa Udinese di lapangan. Mereka mampu mempertahankan level permainan Udinese di papan atas selama bertahun-tahun. Pertanyaannya, sampai berapa lama lagi? Terlebih, Di Natale yang semusimnya nyaris selalu mencetak lebih dari 20 gol kini sudah memasuki usia senja.

Beberapa kritik juga sempat mampir ke klub ini terkait komposisi pemain yang terlampau kosmopolitan. Bagaimana tidak, pada Piala Dunia 2010 lalu mereka menyumbang total 8 pemain ke berbagai negara namun hanya Di Natale yang berkostum Italia. Meski tetap berprestasi, namun terlalu sedikitnya kesempatan pemain-pemain asli Italia untuk merumput di sana tentu bukan kondisi ideal.

Pada prinsipnya, Udinese Model yang telah berjalan nyaris dua dekade ini hanya bertujuan untuk mengoperasikan tim dengan rasional. Tidak untuk menyaingi tim papan atas, tidak pula mengangkat level tim lebih tinggi lagi dari ini. Namun pendukung mereka tentu saja cukup gemas melihat fenomena ini karena mereka merasa tim kebanggaannya memiliki potensi lebih besar andai saja mereka rela menahan bintang-bintangnya lebih lama lagi di Friuli.

Untuk itulah Udinese perlu menjalankan game plan lainnya yang bertujuan untuk menambah sumber pendapatan. Pozzo sendiri pernah mengatakan bahwa klubnya membutuhkan Liga Champions demi memperoleh pendapatan hak siar televisi dan memperkuat brand. Renovasi stadion Friuli juga menjadi agenda mereka demi menarik minat penonton.

Leave a comment