Apa Itu Plusvalenza?

Dalam sepak bola Italia, istilah Plusvalenza acapkali digunakan ketika membicarakan keuntungan dari proses penjualan pemain. Sebetulnya, plusvalenza memiliki arti yang tidak rumit, yaitu keuntungan dari penjualan aset/pemain. Dalam laporan keuangan klub sepak bola,  pemain dicatat sebagai aset, dan karenanya tidak biaya yang ditimbulkan tidak dibebankan sekaligus, melainkan dikapitalisasi sesuai masa berlaku kontrak si pemain.

Atau dalam bahasa sehari-hari, pembebanan biayanya disebar sebanyak durasi kontraknya.

Misalnya seorang pemain A, yang bermain di klub B, dibeli oleh klub C dengan harga 25 juta euro pada awal musim 2017/2018 dengan durasi kontrak lima tahun, berarti biayanya dibebankan sebanyak lima tahun, dengan nilai lima juta euro per tahun (25 juta euro dibagi lima tahun). Biaya yang dibebankan selama durasi kontrak inilah yang dinamakan biaya amortisasi.

Lalu bagaimana menghitung plusvalenza?

Pertama, bandingkan harga beli pemain dengan total nilai amortisasi. Mengambil contoh pemain A tadi, anggaplah ada klub D yang ingin membeli si pemain A dari klub C pada awal musim 2020/2021 ini. Jadi harga beli adalah 25 juta euro, total nilai amortisasi dari tiga tahun kontrak yang telah dijalani = 5 juta euro x 3 tahun = 15 juta euro.

Kedua, identifikasi nilai buku pemain. Dari angka di atas, kurangkan harga beli dengan total amortisasi. Didapat: 25 juta euro – 15 juta euro = 10 juta euro. Artinya, klub hanya perlu menjual pemain A dengan harga 10 juta euro agar tidak membukukan kerugian pada laporan keuangannya.

Ketiga, untuk menentukan plusvalenza dan minusvalenza, tinggal membandingkan nilai buku pemain dengan harga jual si pemain. Jika dijual di bawah nilai buku, maka menimbulkan kerugian, begitupun sebaliknya.

Demikian cara mudah dalam memahami plusvalenza dari penjualan pemain.

 

 

Geliat Sepak Bola Tiongkok

Sepak bola negeri Tiongkok begitu menarik perhatian pecinta sepak bola belakangan ini. Uang sebesar 320 juta euro telah dikeluarkan klub-klub sepak bola negeri ini untuk menggaet pemain-pemain bintang yang bermain di benua Eropa. Jumlah ini masih akan bertambah hingga penutupan bursa transfer 26 Februari mendatang, dengan nama-nama seperti John Terry, Loic Remy dan Luiz Adriano yang masih menjadi target klub-klub Chinese Super League.

Jika diperhatikan, pemain-pemain yang dibeli pun tidak berkualitas semenjana, tidak pula bintang dunia yang sudah meredup. Beberapa nama didatangkan saat usia mereka masih produktif dengan usia karir yang masih relatif panjang. Simak saja nama-nama seperti Ramires, Fredy Guarin, Alex Teixeira, Paulinho, Jackson Martinez atau Demba Ba. Di kompetisi Eropa pun nama mereka masih akan diperebutkan hingga 3-4 tahun ke depan.

Terhadap fenomena ini, Simon Chadwick, seorang profesor ekonomi olahraga dari Salford University mengatakan bahwa perkembangan sepak bola Tiongkok memang beriringan dengan perkembangan sektor industri secara umum di negeri itu. Industri-industri tersebut merekrut tenaga-tenaga ahli dari luar negeri untuk membantu meningkatkan tenaga ahli lokal. Hal yang sama berlangsung di dunia sepak bola di mana para pesepak bola dan pelatih-pelatih asal Eropa dan Amerika Latin masih dipandang sebagai yang terbaik.

Sebagai negara yang begitu besar perannya pada perekonomian dunia, Tiongkok ironisnya masih memiliki kekeringan prestasi pada olahraga terpopuler di dunia bernama sepak bola. Terakhir mengikuti Piala Dunia 2002, mereka hingga kini belum kembali ke ajang terbesar sepak bola itu dan malah bergelut dengan berbagai skandal dan korupsi di sepak bola dalam negeri mereka.

Skandal terkenal “Chip-shot gate” pada tahun 2009 lalu sudah cukup mencoreng persepak bolaan negeri Tirai Bambu. Skandal yang melibatkan sebuah kub Divisi dua Liga Tiongkok ini menjadi titik nadir bagi persepak bolaan negeri berpenduduk paling banyak di dunia. Buntutnya, ketua federasi sepak bola, beberapa wasit dan pemain-pemain negeri itu diseret ke penjara.

Selain kecurangan dan mafia-mafia, kemunduran sepak bola di negeri ini juga disebabkan fokus badan olahraga mereka untuk menciptakan atlet-atlet nomor individu alih-alih beregu macam pesepak bola. Lapangan yang terbatas karena kurangnya lahan juga jadi permasalahan lainnya. Keseriusan pemerintah mereka terlihat dari banyaknya anak-anak yang sudah dilatih keras sejak mereka masih kecil. Tujuan mereka, apa lagi jika bukan merajai Olimpiade.

Namun kini keadaannya berbeda. Pemerintah Tiongkok melalui Preseden Xi Jinping telah mencanangkan tahun kebangkitan sepak bola. Dengan tegas, Tiongkok bahkan mendeklarasikan 50 rencana untuk menjadi negara kuat sepak bola dunia. Bukan hanya menjadi peserta Piala Dunia saja, melainkan untuk menjadi tuan rumah dan sekaligus memenangkannya. Presiden juga menitikberatkan 50 rencana tersebut dalam bentuk permintaan langsung kepada para miliuner untuk berinvestasi ke dunia sepak bola. Dengan demikian, pemerintah Tiongkok memiliki dua cara utama dalam membangun sepak bola mereka: cara instan dan cara jangka panjang.

Galactico

Bisnis sepak bola dengan cara instan atau lazim disebut Galactico –merujuk pada proyek ambisius yang dijalankan klub Real Madrid di bawah kekuasaan presiden Florentino Perez- memang banyak dilakukan oleh klub guna meraih pertumbuhan yang cepat dan memperluas cakupan brand. Kebijakan mendatangkan bintang-bintang dunia tentu saja akan sangat menyedot atensi publik, mendatangkan sponsor, dan jelas akan memberi pengaruh yang instan.

Proyek Galactico ini sebetulnya bukan hal baru bagi sepak bola Tiongkok. Dalam setengah dekade belakangan ini, klub-klub seperti Shanghai Shenhua dan Guangzhou Evergrande telah memulai trend pengumpulan bintang-bintang dunia seperti Nicolas Anelka, Didier Drogba dan Dario Conca. Prestasi pun dapat diraih Evergrande dengan capaian gelar Piala Champions Asia tahun 2015 di bawah asuhan pelatih Marcelo Lippi.

Pemain-pemain baru dengan kekuatan finansial yang meyakinkan memang berdatangan dalam bentuk Jiangsu Suning, Shanghai SIPG, Tianjin Teda dan Hebei Fortune. Hal ini menciptakan competitive balance yang tentu saja lebih menunjang nilai jual kompetisi.

Namun investasi besar-besaran tentu tidak ada artinya jika bisnis yang berjalan tidak menguntungkan. Evergrande kerap membagikan 10 ribu lembar tiket gratis kepada para pendukungnya di hari pertandingan, hanya untuk memastikan stadion mereka terisi penuh. Gaji selangit para pemain dan pelatih asing mereka tidaklah cukup untuk ditutupi dari penghasilan asli klub berupa pemasukan tiket, sponsor, penjualan merchandise maupun penerimaan hak siar televisi, terlebih industri sepak bola di negara ini masih tertinggal jauh dari Eropa.

Grassroots

Beberapa pihak menyatakan bahwa pembinaan pemain muda melalui akar rumput alias grassroots tetaplah lebih penting, mengingat pembentukan kompetisi dan tim nasional tangguh berasal dari sini. Namun para investor flamboyan itu tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan mereka untuk angkat nama melalui sepak bola. Jika berinvestasi pada pembinaan pemain muda, tentu nama mereka akan kurang nyaring terdengar, ketimbang jika mereka berinvestasi kepada klub-klub Liga Super yang gaungnya sudah terdengar kini hingga ke Eropa.

Investasi, tanpa memiliki model yang mampu membuat bisnis itu sendiri bertahan (self-sustaining) hanya akan menjadi investasi yang rapuh. Para penggemar dan pelaku sepak bola kini mungkin dapat berharap pada kemurahan hati para investor saja untuk terus menerus menginjeksi pundi-pundi kekayaannya. Jika investor-investor tersebut kabur dan pasokan dana dihentikan dan meninggalkan klub dengan hutang menumpuk, kebangkrutan siap menjadi konsekuensi.

Pemerintah Tiongkok pun tidak abai dengan pembangunan infrastruktur dan sekolah sepak bola. Dimulai dengan mewajibkan setiap sekolah untuk memasukkan sepak bola dalam kurikulum, pemerintah kemudian menargetkan pembangunan 20 ribu sekolah sepak bola dalam lima tahun, dan akan membengkak menjadi 50 ribu dalam satu dekade.

Penempaan bakat para pemain lokal Tiongkok pun menjadi sorotan. Mulai musim depan, Ledman, sebuah perusahaan lampu asal Tiongkok menjalin kerjasama dengan badan pengelola Segunda Liga Portugal, kompetisi tingkat kedua dalam piramida sepak bola negara ini. Sebuah kerjasama yang tentu saja akan menguntungkan Tiongkok dari sisi pembinaan pemain dan pelatih.

Melalui kerjasama ini, kompetisi tidak hanya berganti nama menjadi Ledman Proliga, tetapi juga klub-klub di liga ini diharuskan mempekerjakan tiga orang pelatih asal Tiongkok untuk merasakan langsung atmosfer sepak bola Eropa. Semula, Ledman hendak mengirimkan sepuluh pemain Tiongkok untuk bermain di masing-masing klub yang berada di posisi 10 besar, namun rencana ini ditolak oleh asosiasi pemain Portugal karena akan membatasi kesempatan bagi mereka. Walaupun begitu, skema ini tetaplah tidak menghalangi eksodus pemain-pemain Tiongkok ke Portugal, hanya jumlahnya saja yang berkurang.

Bersaing Dengan Eropa

Seberapapun besarnya potensi Liga Tiongkok, jika ingin menyaingi liga-liga Eropa, hal ini masih membutuhkan waktu yang panjang. Sesuatu yang besar tidak dapat dibangun dalam semalam. Klub-klub Tiongkok masih belum memiliki sejarah dan tradisi seperti yang dimiliki klub-klub Eropa hingga akhirnya mendapatkan brand image yang kuat.

Namun demikian, ada harapan klub-klub Chinese Super League ini memasuki posisi 20 besar laporan tahunan Deloitte Football Money League (DFML).

DFML disusun dengan menggunakan pendekatan rugi dan laba selama tahun berjalan, berbeda dengan pendekatan majalah Forbes dalam menentukan nilai dari sebuah klub untuk menyusun daftar Most Valuable Soccer Clubs. Untuk dapat memuncaki DFML, atau setidaknya memasuki posisis 20 besar, klub perlu mengumpulkan uang melalui pendapatan asli klub.

Pendapatan asli klub yang dimaksud bersumber dari tiket penonton, hak siar dan sponsorship. Klub-klub Liga Tiongkok memang masih sulit berharap pada pendapatan dari sektor penonton dan hak siar. Tingginya pendapatan sektor penonton didapat dari kombinasi basis pendukung yang besar dan harga tiket yang tinggi. Sementara hak siar didapat dari reputasi kompetisi yang membuat stasiun televisi mau mengguyur uang dalam jumlah besar kepada pengelola kompetisi dan klub-klub.

Klub-klub Chinese Super League dapat berharap pada tingginya pendapatan dari sektor komersial melalui pendapatan sponsorship. Di Eropa, klub-klub seperti PSG dan Manchester City memperoleh kekayaan yang begitu besar dari sektor ini. Maklum saja, pemilik mereka memiliki kedalaman kantong yang sulit diukur.

UEFA melalui kebijakan Financial Fair Play memang tidak mengizinkan injeksi langsung pemilik klub, namun dengan menggunakan skema transaksi keuangan yang sederhana saja, pemberian dana dari pemilik klub dapat dialirkan. Dengan cara inilah PSG dan City mendapatkan begitu banyak pemasukan dari sektor sponsorship. Anda dapat membacanya sendiri dalam laporan DFML.

Belum adanya aturan yang jelas terhadap nilai kewajaran sponsorship memang menjadi celah yang dapat dimanfaatkan klub manapun. Financial Fair Play memang tidak tinggal diam terhadap hal ini, dan mereka disebut sedang melakukan investigasi untuk mengungkap skema transaksi sponsorship. Namun hal ini baru sebatas dilakukan dalam case by case basis, tidak dirumuskan dengan jelas dalam aturan. Hukumannya pun sejauh yang kita lihat masih dapat dipikul, misalnya pengurangan jatah pemain yang bermain di Liga Champions, dan sejenisnya.

Oleh karena Tiongkok berada di luar jurisdiksi Financial Fair Play, laporan DFML tidak sampai mengcover sumber dan kewajaran pendaptan dari tiga sumber asli pendapatan, maka bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini terdapat satu-dua klub Chinese Super League menyeruak dalam daftar 20 besar klub sepak bola dengan pendapatan terbesar di dunia.

Rekor Pendapatan Borussia Dortmund

(Reblog arsip tahun 2013 Bolatotal – Data lama)

Barcelona, Borussia Dortmund, dan AS Roma adalah tiga tim pemuncak klasemen dari liga Spanyol, Jerman dan Italia yang belum terkalahkan. Barca dan Atletico Madrid bahkan menuai hasil sempurna dari tujuh laga awalnya. Namun bukan mereka yang hendak saya bahas. Saya akan sedikit membahas pencapaian khusus untuk Dortmund, sekaligus menengok performa mereka dari sisi finansial.

Dari enam kemenangan yang diraih Die Borussen, tiga diantaranya diukir dengan skor besar, yaitu 4-0 kontra Augsburg, 6-2 lawan Hamburg, dan 5-0 atas Freiburg. Begitulah perjalanan Dortmund di awal kiprah mereka di Bundesliga musim ini. Mereka sadar bahwa salah satu sebab kegagalan mempertahankan gelar Bundesliga musim lalu adalah akibat start buruk yang membiarkan Bayern Muenchen mengambil momentum positif sejak awal.

Dortmund memang harus kehilangan Mario Goetze, gelandang kreatif yang hijrah ke Bayern Muenchen. Robert Lewandowski juga sempat ramai diberitakan akan hengkang pada musim panas ini ke klub yang sama (faktanya memang ia bakal hengkang, tapi di musim panas tahun depan) membuat banyak pihak meragukan kekuatan Die Borussen.

Mereka menutupi kepergian Goetze dan meyakinkan Lewandowski untuk bertahan semusim lagi. Meski harus merelakan bomber Polandia ini hengkang tanpa biaya transfer sepeserpun, hal ini sepertinya memang harus dipilih karena mereka memang masih sulit mencari pengganti Lewandowski.

Pierre Aubameyang memang telah datang, namun rasanya butuh semusim untuk mematangkan penyerang yang mengawali karirnya di Milan ini hingga mampu gantikan peran Lewandowski. Lain halnya dengan Goetze, mereka masih dapat berharap pada sosok Henrikh Mkhitaryan, pencetak 20 gol di Liga Ukraina musim lalu yang didatangkan dari Shakhtar Donetsk dengan transfer 25 juta euro.

Kekuatan mereka masih relatif sama dengan musim lalu, namun dengan pemain pelapis yang lebih dapat diandalkan. Di samping Aubameyang, mereka juga mendatangkan Sokratis dari Werder Bremen untuk melapis duet Mats Hummels dan Neven Subotic. Tidak hanya itu, mereka juga mempromosikan para youngster yang nantinya akan menjadi tulang punggung tim di masa depan seperti Jonas Hofmann, Marian Sarr dan Marvin Ducksch.

Bisa dikatakan bahwa dengan memperkuat tim seperti ini, Dortmund memiliki target tinggi di seluruh kompetisi yang mereka ikuti. Kedalaman skuat memang krusial jika sebuah tim mengarungi tiga kompetisi dan memainkan lebih dari 50 pertandingan dalam semusim.

Performa Dortmund memang bukan sekadar menghasilkan poin, namun juga memanjakan mata dengan agresivitas mereka. Situs Whoscored mencatat mereka membukukan rataan 23,3 tembakan ke gawang lawan, atau tertinggi di Bundesliga dan Eropa. Mereka juga menonjol dengan level kedisiplinan, meski taktik dasar mereka adalah melakukan pressing. Dalam tujuh laga, pemain-pemain mereka hanya empat kali menerima kartu kuning, dan belum ada kartu merah. Jumlah ini hanya kalah dari Everton di level kontinental, yang baru menerima tiga kartu kuning. Sementara dalam hal passing accuracy dan rataan ball possession, mereka juga membukukan nilai tinggi dengan rataan masing-masing 80,8% dan 58,2%.

Rekor Pendapatan

Dortmund jelas bukan tim instan. Mereka bangkit dari keterpurukan, lalu berdiri tegak dengan cara sendiri. Perubahan kebijakan dari pengumpul ke penghasil pemain bintang adalah salah satu sebab mereka berprestasi memukau, namun dengan mengandalkan pemain-pemain muda. Fakta bahwa kekuatan ekonomi mereka tidak sebanding dengan raksasa seperti Bayern juga menjadikan mereka sebagai pahlawan dari golongan yang tidak menyukai kemapanan.

Dortmund telah menjelma sebagai model kesuksesan klub Bundesliga. Menghasilkan banyak pemain berbakat, memainkan sepak bola atraktif, stadionnya selalu penuh (plus koreografi memukau), berprestasi tinggi dan yang terpenting memiliki stabilitas finansial. Kesempurnaan dalam prestasi, bagaimanapun tidak akan berlangsung lama jika tidak ditopang dengan kondisi finansial yang sehat.

Dortmund4

Source: Bundesliga Report 2013

Dari tabel di atas, terlihat bahwa pendapatan klub-klub Bundesliga kini menempati peringkat kedua di bawah EPL, namun dengan kondisi klub yang lebih sehat karena relatif bebas dari hutang. Bagi Dortmund, sehatnya keuangan dapat dilihat dari perkembangan pendapatan dalam waktu lima tahun ke belakang.

Dortmund5

Source: Deloitte

Dapat dilihat dari grafik tersebut, bahwa pendapatan Dortmund meningkat tajam dalam waktu tiga tahun. Namun ini baru permulaan karena di pada penutupan tahun 2013 (berakhir di Juli 2013), klub ini mengukir rekor pendapatan tertinggi sepanjang sejarah mereka, yaitu 305 juta euro (termasuk pendapatan transfer). Jika mengikuti aturan main yang diberlakukan Deloitte dalam menyusun peringkat pendapatan, maka pendapatan Dortmund adalah 254 juta euro, atau menyamai rataan pendapatan klub seperti Milan atau Chelsea. Dengan hasil ini, posisi minimum 10 besar akan mereka dapatkan.

Meski telah mengukir pendapatan tinggi, mereka tetap memasang target moderat dalam proyeksi pendapatan musim ini. Dari perspektif finansial, mereka menargetkan kelolosan dari fase grup Liga Champions, dan babak kedua DFB-Pokal. Dengan target ini, mereka diproyeksikan akan memperoleh setidaknya 250 juta euro di tahun 2014, atau sama dengan yang tahun 2013.

Target tersebut cukup realistis. Mereka menghitung bahwa kekuatan pesaing-pesaing baik di Bundesliga maupun Liga Champions akan semakin meningkat, sehingga peluang mereka menjuarai ajang tersebut tidaklah besar.

Dortmund6

Source: Bundesligafootball

Seperti dikutip Bundesligafootball, Dortmund mengalami kenaikan di setiap lini pendapatan yaitu penjualan tiket yang meningkat 13 juta euro, hak siar yang meningkat 28 juta dan pendapatan komersial yang meningkat 24 juta. Jika turut menghitung pendapatan transfer, terdapat kenaikan 25 juta euro. Secara keseluruhan, menghasilkan peningkatan pendapatan nyaris 50%.

Faktor penampilan di Liga Champions musim lalu menjadi penentu. Menurut UEFA, Dortmund memperoleh 54,2 juta euro dari distribusi pendapatan hak siar dan hadiah turnamen. Hasil ini menempatkan profit mereka yang juga meningkat tajam. Masih menurut Bundesligafootball, mereka berhasil meningkatkan EBITDA (Pendapatan sebelum bunga, pajak dan depresiasi) menjadi 73,2 juta euro dari jumlah 48,2 tahun lalu.

Biaya gaji memang meningkat dari 77 juta ke 100 juta euro, namun wajar karena mereka mendatangkan beberapa pemain baru bergaji tinggi seperti Aubameyang dan Mkhitaryan. Meski begitu, jika membandingkan biaya gaji tersebut dengan tingginya pendapatan, hal tersebut jauh dari mengkhawatirkan.

Tagged ,

Borussia Dortmund, The Reflection of Bundesliga

Dari Juara Liga Champions hingga hampir bangkrut (Diambil dari arsip Bolatotal tahun 2013 – Masih memakai data lama)

Borussia Dortmund begitu digdaya musim lalu. Mereka meraih double winners untuk kali pertama dalam 103 tahun sejarah mereka berdiri. Namun semua tentu masih ingat ketika klub ini pernah doing the Leeds alias melakukan mismanagement terkait finansial mereka, yang berakibat klub ini nyaris bangkrut pada tahun 2003.

Juara Liga Champions tahun 1997 ini mengalami euforia yang menjadikan mereka boros. Setelah kemenangan di final yang diselenggarakan di kota Muenchen itu, Dortmund melakukan pembelian banyak pemain mahal bergaji besar untuk mempertahankan hegemoni mereka di Eropa, sekaligus mencoba mendepak Muenchen dari singgasana penguasa Jerman.

Dalam rentang musim 1999/2000 hingga 2003/2004, situs Transfermarkt memuat kerugian Dortmund dalam bursa transfer dengan nilai fantastis 97 juta euro. Dortmund mengeluarkan uang transfer sebesar total 130 juta euro dalam periode tersebut dan hanya mendapatkan 33 juta.

Di antaranya pemain-pemain ini adalah Tomas Rosicky dan Marcio Amoroso, yang bernilai total 40 juta euro. Tanpa mereka sadari, inilah yang menjadi awal kehancuran. Klub menumpuk banyak utang, hingga pada tahun 2003 mereka bahkan harus meminjam uang kepada Bayern Muenchen sebesar 2 juta euro demi membayar gaji staf dan pemain-pemainnya. Klub dinyatakan hampir bangkrut.

Dortmund juga terpaksa menjual hak penamaan stadion Westfalen kepada perusahaan asuransi Signal Iduna. Sebagai konsekuensi, hingga tahun 2021 mendatang, stadion yang berkapasitas 80.700 penonton atau yang terbesar di Jerman ini memakai nama Signal Iduna Park.

Era kebangkitan di bawah Juergen Klopp

Penunjukan pelatih Juergen Klopp oleh manajemen baru pasca era mismanagement adalah salah satu kunci kebangkitan klub ini, di samping pengelolaan finansial yang lebih cermat. Klopp memiliki rekam jejak cemerlang di klub sebelumnya, Mainz 05. Dengan skuad yang biasa-biasa saja, klub ini dibawanya meraih promosi untuk pertama kalinya ke Bundesliga musim 2003/2004. Oleh Klopp, Mainz bahkan sempat menembus ajang Piala UEFA musim 2005/2006.

Sebelum membawa Dortmund meraih gelar back to back Bundesliga pada musim 2010/2011 dan 2011/2012, Klopp membawa Dortmund meraih posisi keenam dan kelima secara beruntun dalam dua musim debutnya. Rangkaian prestasi ini tidak lepas dari filosofi Klopp dalam menangani sebuah tim.

Filosofi pelatih yang menghabiskan karir bermainnya di Mainz ini sejalan dengan visi Dortmund, yaitu penggunaan pemain muda berbakat dan pemain akademi. Ia pun berani menjual pemain senior seperti Mladen Petric, Steven Pienaar, dan Alex Frei.

Sebagai gantinya, ia merekrut Nevan Subotic dari Mainz, Mats Hummels dari Muenchen, Robert Lewandowski dari Lech Poznan, dan Shinji Kagawa dari Cerezo Osaka dengan harga murah, serta Sven Bender dari TSV 1860 Muenchen, dan Kevin Groskreutz dari Rot Weis Ahlen secara gratis.

Dari akademi sendiri, Klopp mempromosikan Marcel Schmelzer dan Mario Gotze. Nuri Sahin, lulusan akademi yang sempat melanglang buana ke Belanda bersama Feyenoord juga dipanggilnya kembali karena ia melihat potensi besar pada pemain ini.

Di era Klopp melatih, Dortmund menghabiskan 67 juta euro di bursa transfer, namun pendapatan mereka sebesar 54 juta dari sisi yang sama menjadikan mereka sebagai klub dengan pendekatan yang sangat rasional. Bandingkan dengan Bayern Muenchen yang menghabiskan 120 juta euro hanya dalam 3 musim ke belakang, meski secara prestasi, Muenchen juga meraih hasil-hasil sensasional diantaranya dengan dua kali menembus babak final Liga Champions dan sekali memenangi Bundesliga.

Pemain-pemain yang dibeli Klopp hasil kolaborasinya dengan Michael Zorc selaku Sport Director inilah yang kelak menjadi tulang punggung Dortmund dalam menapaki jalan kesuksesan. Kagawa dan Sahin (sebelum kembali pada winter 2012) memang dijual akhir musim 2011 dan 2012. Sebagai gantinya, Dortmund merekrut Ilkay Gundogan dan Marco Reus untuk menggantikan keduanya.

Financial Highlights

Dortmund

Hasil positif di lapangan turut membawa Dortmund mengalami peningkatan dari sisi pendapatan. Dari laporan Deloitte Football Money League (DFML), Dortmund meraih lonjakan peringkat sejauh 5 tangga terkait keikutsertaan mereka di Liga Champions.

Kontribusi terbesar dari kenaikan pendapatan mereka terletak pada pendapatan media sebesar 60 juta euro berkat partisipasi di Liga Champions. Seperti halnya klub Bundesliga, kontribusi terbesar pendapatan Dortmund terletak pada pendapatan komersial, yang mencapai 51% dari total penerimaan mereka tahun 2012.

Peningkatan dari sisi komersial ini didapat dari kerjasama sponsorship baru dengan ODDSET dan Flyeralarm. Klub juga memperpanjang kerjasama dengan Evonik terkait shirt sponsorship hingga musim 2015/2016 senilai 10 juta euro per musim, 7 juta per musim dari Puma sebagai penyedia Kit & Supplier dan Signal Iduna terkait hak penamaan stadion yang diperpanjang 5 tahun hingga tahun 2021 mendatang.

Keberhasilan Dortmund yang hingga saat ini masih bertahan di Liga Champions dan melanjutkan performa baik di Bundesliga diyakini akan terus meningkatkan performa keuangan Die Borussen. Stadion mereka juga selalu penuh dengan rataan 80 ribu penonton, atau tertinggi di Eropa. Hal ini tentu saja kontribusi dari permainan memikat dan enak dilihat dari anak asuhan Klopp, serta prestasi yang stabil.

Namun penerimaan mereka terkait tiket pertandingan hanya menyentuh angka 31 juta euro musim lalu, dan 28 juta saja musim sebelumnya. Angka ini bahkan masih di bawah klub seperti Hamburg dan Schalke yang bisa meraup 10 juta lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga tiket mereka.

Penerimaan mereka dalam hal media juga dapat dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan klub-klub Bundesliga lainnya. Dari distribusi hak siar lokal, Dortmund menduduki peringkat kedua dengan meraih 23 juta euro atau 1 juta lebih sedikit di bawah Muenchen.

Jumlah ini jauh dari yang diterima rata-rata klub EPL maupun Seri A Italia. Hal ini dapat dimengerti karena secara total, jumlah hak siar televisi Bundesliga memang tidak mencapai kedua liga tersebut.

Dortmund2

Dari sisi profit, Dortmund meraih hasil menggembirakan dalam dua musim terakhir. Mereka meraih masing-masing keuntungan sebesar 9,5 juta euro pada tahun 2011 dan tahun lalu meningkat tajam sebesar 36.6 juta.

Meski dalam kurun waktu 2008 hingga 2011 mereka meraih kerugian (itu pun masih di bawah 10 juta euro), namun EBITDA (Earning before interest, tax, depreciation and amortization) mereka tetaplah tinggi. Kerugian ini adalah pengaruh dari penyusutan dan amortisasi dari asset mereka.

Dortmund3

Dari tabel di atas, anda mungkin melihat biaya gaji yang meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun. Namun jika menghitung perbandingan antara biaya gaji dan peningkatan pendapatan mereka, hasilnya tetap favorable bagi Dortmund. Mereka tetap mampu menjaga rasio di kisaran 40% biaya gaji atas pendapatan. Bandingkan dengan klub-klub EPL yang bisa menghabiskan biaya gaji mereka sebesar 70% dari pendapatan.

Dari paparan di atas, maka tidak berlebihan jika Dortmund cocok dijadikan representasi sempurna dari kekuatan klub klub-klub Bundesliga yang sehat secara finansial sekaligus berprestasi bagus di lapangan. Didukung oleh pengelolaan kompetisi Bundesliga yang memang menitikberatkan pada kesehatan finansial dan kepemilikan lokal, Dortmund boleh jadi menjadi pilot project bagi pengelolaan klub yang sehat secara finansial sekaligus mampu mengumpulkan trofi, yang memang tujuan utama dari didirikannya sebuah klub sepak bola.

Tagged ,

The Arsenal Way

Arsenal selalu mendapat masalah yang sama setiap awal musimnya. Apa lagi jika bukan masalah transisi. Arsenal adalah klub papan atas yang mampu bermain konsisten meski sering ditinggal pemain bintangnya. Atau mau logikanya di balik juga bisa. Arsenal, meski stabil sebagai klub papan atas, adalah klub yang sering ditinggal pemain bintangnya. Anda bisa memberikan penekanan pada sisi apapun, Arsenal tetaplah Arsenal. 

Arsenal – The Financial Role Model

Jika kita berbicara finansial Arsenal, anda akan mendapati catatan luar biasa untuk ukuran klub sepak bola Eropa yang pada umumnya merugi. Terakhir mengalami kerugian tahun 2002, Arsenal terus mengukir profit hingga saat ini. Anda bisa menyebut klub ini sebagai role model pengelolaan keuangan klub sepak bola. Arsenal bukanlah klub yang dimiliki “sugar daddy” seperti Roman Abramovich maupun Sheikh Mansour. Arsenal melakukan bisnis murni sepak bola dan mengukir profit secara stabil tanpa ketergantungan mereka pada pemilik klub.

Salah satu andil utama profit tinggi itu tentunya adalah keuntungan masif dari penjualan pemain. Jangan lupa, penjualan pemain-pemain tersebut tidak sekadar memberikan dana segar, namun juga menghemat biaya gaji. Strategi bisnis demikian adalah satu-satunya yang dilakukan oleh sebuah klub yang stabil di papan atas liga yang dianggap terbaik di dunia.

Selalu lolos ke Liga Champions dianggap sudah merupakan prestasi oleh Arsenal di tengah ketidakmampuan mereka menyaingi kekayaan klub-klub seperti Manchester City dan Chelsea. Pelatih Arsene Wenger pernah menyebutkan bahwa dia lebih baik mengejar posisi 4 besar dan melaju sejauh mungkin di Liga Champions ketimbang bersusah payah memenangi minor trophies.

Mengapa Penerimaan Stagnan Dan Pemain Terus Dijual?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari melihat perspektif penerimaan mereka di antara klub-klub Premier League. Dari sisi penerimaan, Arsenal menduduki peringkat kedua, hanya kalah dari Manchester United. Hal tersebut bisa dimaklumi karena United memiliki image global yang berimbas pada tingginya penerimaan komersial mereka, sesuatu yang belum dimiliki Arsenal. Arsenal menyadari bahwa meskipun sempat mengguncang Inggris saat menorehkan rekor invicible di musim 2003/2004, mereka harus melakukan sesuatu untuk meningkatkan pendapatan, yaitu membangun stadion baru.

Selama pembangunan stadion baru di lokasi Ashburton Grove inilah Arsenal harus menahan diri untuk mengeluarkan banyak uang karena kreditor mereka butuh jaminan akan stabilitas keuangan si debitor. Karena itulah Arsenal kurang bergigi di bursa transfer. Arsenal harus melepas pemain untuk mendatangkan pemain baru, dan selama ini bisnis berjalan bagus.

Lagipula, mendatangkan pemain dengan transfer mahal bukanlah gaya Arsenal. Terakhir kali mereka mendatangkan pemain mahal adalah musim 2003/2004 saat mereka mendatangkan Jose Antonio Reyes dari Sevilla seharga 30 juta poundsterling (sebelum dipecahkan Mesut Ozil). Selebihnya, Arsenal mencetak pemain bagus lalu menjualnya disaat harga mereka tinggi. Sejalan dengan kebijakan skuad muda, pemain-pemain yang semula tak tersentuh seperti Thierry Henry, Patrick Vieira dan Robin Van Persie dijual ketika mereka menginjak usia 29 tahun. Namun langkah mereka terkait penjualan Cesc Fabregas, Samir Nasri, Gael Clichy dan juga Alex Song di usia emas menimbulkan kritik dari sana sini.

Langkah prudent ini memakan konsekuensi cukup mahal, yaitu semakin jauhnya trofi Liga Primer Inggris dari genggaman mereka. Pemain-pemain yang mereka jual adalah pemain terbaik dan tidak jarang adalah kapten tim mereka. Kebijakan mereka seringkali tidak sejalan dengan ambisi pemain yang menginginkan trofi juara maupun gaji lebih tinggi. Sebaik apapun strategi dan filosofi tim, menyatukan skuad yang baru dirombak adalah sesuatu yang butuh waktu. Lagipula tanpa trofi yang akan menaikkan prestise dan memberikan torehan kebanggaan pada sejarah klub, Arsenal akan sulit mendapatkan sponsor yang memberi mereka pemasukan tinggi.

Arsenal memang menikmati kenaikan pendapatan sejak pindah ke stadion Emirates. Namun sejak 2009, pertumbuhan penerimaan lamban meskipun harga tiket pertandingan terus mereka naikkan. Tahun 2009 hingga 2012 mereka memperoleh berturut-turut 225 juta, 223 juta, 225 juta dan 235 juta pounds. Sementara jika dibandingkan dengan Manchester United yang dalam periode 2010 ke 2011 saja memperoleh peningkatan pendapatan sebanyak 45 juta pounds. Jelas masih ada PR yang harus dibereskan Arsenal terkait pemasukan komersial.

Hal ini menjadi jawaban mengapa mereka kerap melepas pemain-pemainnya. Penerimaan yang stagnan itu diiringi kenaikan biaya setiap tahunnya, terutama biaya gaji. Arsenal menduduki peringkat keempat soal biaya gaji di Liga Primer Inggris di bawah Manchester City, Manchester United dan Chelsea. Figur laporan keuangan 2012 sebenarnya menunjukkan angka rugi, namun penjualan pemain menolong mereka untuk tetap mengukir laba.

Arsenal telah mencoba meningkatkan pendapatan mereka. Mereka mulai melakukan tur Asia guna melebarkan pasar ke benua yang memang memiliki daya beli besar ini. Hal ini memang hal logis secara finansial meskipun tidak baik dari sisi kebugaran pemain. Selain itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, Arsenal butuh peningkatan jumlah sponsorship. Mereka perlu meningkatkan penerimaan ini, dan saat yang tepat untuk memperbaharui kontrak dengan dua sponsor utama, Emirates dan Nike adalah dua tahun lagi di tahun 2014.

Tantangan, Harapan Dan Financial Fair Play

Di sinilah tantangan muncul bagi Arsenal, yang jika dilihat dari kacamata penerimaan sponsor, mereka tergolong kecil. Arsenal hanya berada di posisi 9 dalam hal jumlah penerimaan sponsor kaus utama (Emirates), mereka bahkan kalah dari Tottenham Hotspur (Aurasma) dan Newcastle United (Virgin Money) dalam hal ini. Jika ingin memperbaharui nilai sponsor tersebut, Arsenal perlu menunjukkan prestasi, dimana prestasi kongkrit itu adalah trofi, bukan sekadar kesehatan finansial maupun kelolosan ke Liga Champions.

Absensi gelar juga akan membuat pemain tidak betah, akibatnya Arsenal selalu bertransisi setiap tahunnya. Keinginan mereka menggaet pemain yang sudah jadi juga selalu dikalahkan oleh klub-klub lainnya karena kalah kekuatan finansial dan juga kalah dari sisi reputasi gelar. Lihat saja kasus Eden Hazard yang akhirnya berlabuh ke Chelsea, klub yang memang kaya dan baru saja memenangi Liga Champions. Arsenal memiliki kelemahan dalam menarik pemain incaran sekaligus mempertahankan pemain terbaik.

Meski demikian, Arsenal sangat tenang mengahadapi tuntutan Financial Fair Play karena mereka memang menjalankan strategi bisnis yang benar-benar sehat. “Justru klub yang terbiasa berbelanja mahal harus mulai khawatir sekarang,” ujar Wenger.

“Kami menjalankan klub dengan penuh tanggung jawab, membuat profit setiap tahun saat kebanyakan klub merugi. Kami seperti klub Jerman,” lanjutnya. Wenger juga menyebutkan keyakinannya bahwa saat Financial Fair Play berjalan dan Arsenal meraih deal baru soal sponsorship, klub akan memiliki kemampuan lebih merata, dan disitulah saat Arsenal mencapai siklus trofi.

Semua itu kembali kepada masing-masing orang. Bagaimanapun, perjuangan Arsenal di tengah kepungan lawan-lawan yang kekuatan finansialnya lebih baik daripada mereka patut diberi apresiasi. Arsenal mampu menjalankan klub dengan bisnis yang self-sustaining sekaligus tetap stabil di jajaran klub elit, memainkan sepak bola menyerang yang cantik, tidak bermain kotor dan mengembangkan pemain-pemain muda. Tapi tetaplah soal trofi ini terasa mengganjal. Arsene Wenger boleh berkeyakinan bahwa siklus trofi mereka akan datang, namun dia juga tetap harus memikirkan bahwa klub-klub papan atas lainnya juga pasti berbenah. Jangan sampai saat Wenger merasa “this is it!”, klub lain telah mengantisipasinya.

Atletico Madrid, Bergerak Menuju Perbaikan

Dalam satu dekade ini, Atletico Madrid telah memenangi empat trofi bergengsi kelas kontinental, masing-masing dua Europa League dan dua Piala Super Eropa. Mereka juga terus berusaha menggoyahkan dominasi Real Madrid dan Barcelona di kancah domestik.

Hal menarik dari klub ini adalah kehandalan memproduksi penyerang kelas dunia. Fernando Torres, Sergio Aguero, Diego Forlan hingga Radamel Falcao mulai memperkenalkan diri sebagai world class striker melalui performa apik mereka di klub yang bermarkas di Estadio Vicente Calderon ini. Tidak hanya para penyerang, tercatat pemain-pemain handal macam Milinko Pantic, Martin Petrov, Simao Sabrosa, Diego Simeone, dan David De Gea juga pernah bermain di sini. Fakta-fakta ini menempatkan Los Colchoneros bersama Valencia dan Athletic Bilbao sebagai klub paling populer Spanyol di bawah Madrid dan Barcelona. Dari perspektif jumlah gelar domestik, Atletico juga tercatat sebagai klub tersukses dibawah Madrid dan Barcelona. Mereka telah meraih 10 titel La Liga dan 10 Copa Del Rey.

Namun seperti banyak disinggung berbagai pihak, prestasi mereka di lapangan tidak berbanding lurus dengan kondisi keuangan. Atletico dijalankan dengan manajemen yang buruk. Kala sosok kontroversial Jesus Gil menjadi presiden mereka awal tahun 1987, ia bahkan pernah menutup akademi pemain muda. Konsekuensi ini tidak sembarangan karena salah satu talenta mereka kemudian menyebrang dan melegenda di klub rival tetangga. Pemain itu adalah Raul Gonzalez.  Di era Gil pula, mereka setidaknya telah berganti pelatih sebanyak 50 kali, termasuk nama-nama besar macam Cesar Luis Menotti, Ron Atkinson dan Javier Clemente. Prestasi buruk bahkan sempat diukir dengan terdegradasi di musim 1999/2000.

Setelah Jesus Gil wafat tahun 2004, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Miguel Angel Gil Marin bersama CEO Enrique Cerezo. Mereka, seperti halnya klub Spanyol lain begitu memanfaatkan kebijakan The Beckham Law, di mana klub-klub Spanyol ini menikmati keringanan tarif pajak. Keringanan tarif pajak khusus untuk ekspatriat ini kemudian dimanfaatkan untuk menarik bintang-bintang dunia ke La Liga. Meski hal ini menaikkan reputasi kompetisi, namun sayangnya memberi efek buruk bagi keuangan klub. Pendek kata, mereka berbelanja tanpa perhitungan.

Kebijakan Beckham Law ini memang membawa stabilitas pada performa Atletico di lapangan. Pada kurun waktu 2003 hingga 2011 (saat kebijakan Beckham Law berlaku), mereka stabil menduduki posisi top half dan dua kali menduduki zona Champions pada dua musim berturut-turut (musim 2007/2008 dan 2008/2009). Namun demikian, Atleti kurang mampu menggali pemasukan dari sektor penjualan pemain. Selama 9 tahun tersebut, Atleti hanya memperoleh 200 juta euro, padahal mereka mengeluarkan 342 juta. Total, mereka merugi 142 juta dari kebijakan transfer tersebut.

Maraknya kegiatan altas-bajas tidak lepas dari seringnya pergantian pelatih yang mereka lakukan. Beda pelatih tentu beda preferensi taktik dan pemain. Sejak 1996 (terakhir meraih juara liga), hingga kini mereka telah berganti pelatih sebanyak 16 kali, dan tercatat mendatangkan lebih dari 10 pemain baru setiap tahunnya. Kondisi ini memang membawa efek buruk tidak hanya pada keharmonisan tim, tapi terutama pada finansial.

Hutang Yang Menggunung

Situasi ini tercermin pada hutang mereka. Data tahun 2011 menunjukkan bahwa mereka memiliki total hutang sebanyak 517 juta euro, nomor tiga terbanyak setelah Real Madrid (590 juta) dan Barcelona (578 juta). Dibandingkan Valencia yang berada di posisi tepat di bawahnya saja (382 juta), jumlah utang Atleti masih jauh lebih besar.

Hutang besar ini juga tidak diimbangi dengan kemampuan memperoleh pendapatan. Rata-rata, mereka hanya memperoleh 100 juta euro setahun, itupun sebagian besar berasal dari hak siar yang berjumlah 46 juta euro. Dengan kecilnya pendapatan ini, mereka terancam pada ketidakmampuan melunasi hutang tersebut, hal yang kemudian menjadi perhatian besar UEFA.

Persebaran hutang tersebut juga terjadi ke berbagai pihak, yaitu pemerintah, institusi keuangan (bank), pemain, hingga klub sepak bola lainnya. Hutang kepada pemerintah (dalam hal ini pajak) berjumlah 155 juta euro. Tidak mengherankan jika dana transfer Kun Aguero ke Manchester City beberapa tahun lalu langsung mengalir ke kas negara, bukan ke kas klub. Situasi ini memang tidak hanya terjadi di Atleti saja, beberapa klub Spanyol memang memiliki hutang pajak yang kemudian mereka cicil sebanyak 15 juta euro per tahun.

Terlalu besarnya hutang Atletico memang cerminan dari tidak sehatnya pengelolaan finansial klub-klub Spanyol dan lunaknya sikap pemerintah mereka pada klub-klub sepak bola. Hutang pajak klub-klub La Liga telah mencapai 3,5 juta miliar euro, padahal Spanyol sendiri tengah berada dalam krisis ekonomi dan menerima bantuan dari Uni Eropa. Situasi ini tentu saja menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakan Eropa bahwa klub-klub Spanyol mendapatkan bantuan tidak legal dari negara (illegal state aid) dalam hal penundaan pajak, meski hal ini masih belum terbukti.

Faktor Diego Simeone

Namun demikian, terdapat perubahan kebijakan yang mengarah pada kebaikan. Seiring menggunungnya hutang dan dicabutnya kebijakan Beckham Law, Atletico melakukan penghematan di bursa transfer. Mereka sempat menghabiskan hanya 4,5 juta euro dan memperoleh 19 juta dalam semusim untuk kegiatan transfer pemain.

Atletico cukup percaya diri dengan skuat sekarang. Mereka telah membentuk fondasi permainan yang solid di bawah arahan Diego Simeone. Simeone, yang mulai membesut tim ini sejak awal 2012 membawa stabilitas prestasi dengan membawa tim ini ke posisi 5 di akhir musim 2011/2012, lalu kemudian memberi gelar Europa League. Musim lalu, Simeone bahkan membawa Atletico jurara liga dan menembus final Liga Champions.

Kehadiran Simeone sebagai pelatih yang juga mantan pemain Atletico ini mengingatkan pendukung akan sosok almarhum Luis Aragones. Aragones, pelatih yang membawa Spanyol menjuarai Piala Eropa 2008 ini adalah mantan pemain Atletico yang kemudian menjadi pelatih klub ini awal 2000an. Kiprah Aragones paling diingat adalah kala ia membawa tim ini promosi ke La Liga setelah menghabiskan dua musim di Segunda Division.

Era Baru Los Ches

Apresiasi besar patut dialamatkan kepada Manuel Llorente. Sejak menjabat sebagai presiden tahun 2009 lalu, ia mampu mengurangi hutang klub sebanyak 275 juta euro, meski harus menjual pemain-pemain terbaik Los Ches macam David Villa, David Silva dan Juan Mata. Llorente bukan sosok asing bagi Valencia. Sebelum menduduki kursi presiden, ia pernah menjadi manajer klub tahun 1999 hingga 2005.

Mundur jauh ke belakang, siapa tidak ingat armada yang berisi kuartet gelandang Francisco Farinos-Gaizka Mendieta-Kily Gonzalez-Gerard Lopez yang menopang duet Miguel Angel Angulo-Claudio Lopez? Rasanya sah jika pada masa jayanya, mereka lebih dari sekadar menggoyang singgasana duo Madrid-Barcelona, melainkan sempat mengkudetanya. Mereka memenangi dua trofi La Liga dan dua Copa Del Rey di kancah domestik. Tidak hanya bergelar jagoan domestik saja, Valencia juga merebut sebuah gelar Piala UEFA dan dua kali beruntun menembus final Liga Champions tahun 2000 dan 2001.

Valencia juga tidak pernah berhenti menghasilkan pemain handal. Selalu ada pengganti sepadan untuk pemain yang pergi. Pasca keberhasilan menembus final Liga Champions tahun 2000, mereka ditinggal Gerard ke Barcelona, Claudio Lopez ke Lazio dan Farinos ke Inter. Namun kepergian mereka ditambal dengan pembelian Vicente Rodriguez dari Levante, Roberto Ayala dari Milan dan Pablo Aimar dari River Plate. Mereka kembali menembus babak final Liga Champions sebelum dijungkalkan Bayern Muenchen lewat adu penalti. Setelah final tersebut, giliran Mendieta hengkang ke Lazio dan pelatih Hector Cuper merapat ke Inter Milan.

Presiden baru saat itu, Jaime Orti kemudian merekrut Rafael Benitez, pelatih yang baru saja membawa Tenerife promosi ke kasta teratas. Kepergian Mendieta membawa era baru. Benitez membangun kerangka kesuksesan dengan mendatangkan Carlos Marchena dari Benfica, Fransisco Rufete dari Malaga dan Salva Ballesta dari Atletico. Hasilnya, Valencia meraih gelar La Liga di musim perdana Benitez. Gelar La Liga berikutnya hadir dua tahun berselang.

Pekerjaan bagus dari manajemen terkait pembelian pemain dan pemilihan pelatih adalah kunci keberhasilan klub ini senantiasa menembus papan atas. Sebuah hal yang tentu saja tidak mudah jika anda harus bersaing dengan Real Madrid dan Barcelona beserta kekuatan uang dan pengaruh besar mereka.

Sayangnya, prestasi yang telah diukir di lapangan tidak diimbangi dengan pengelolaan keuangan yang sehat. Valencia membeli dan menggaji banyak pemain mahal demi prestasi. Imbasnya, hutang klub menggunung dengan jumlah 200 juta euro. Permasalahan berlanjut dengan seiring duduknya Juan Soler di kursi presiden tahun 2005.

Langkah pertama Soler adalah mendepak Llorente dari tim. Llorente dikenal vokal menentang kebijakan membeli pemain mahal tersebut. Soler lalu memanfaatkan kebijakan Beckham Law dengan cara banyak mendatangkan pemain-pemain asing. Dana transfer lebih dari 100 juta euro mereka belanjakan untuk mengikat pemain asing mahal semacam Marco Di Vaio dan Stefano Fiore. Rangkaian belanja tersebut tentu tidak hanya berakibat tingginya biaya transfer, namun juga membengkaknya biaya gaji. Akibatnya, hutang semakin menggunung.

Tidak cukup dengan pembelanjaan pemain, Soler juga mencanangkan rencana ambisius pembangunan stadion Nuovo Mestalla demi peningkatan pendapatan dan prestis. Semula, dana pembangunan stadion didapat dari pinjaman bank dan penjualan stadion lama Mestalla. Namun seperti diketahui kemudian, terjadi bubble property di negara Spanyol yang menyebabkan harga properti melambung tak terkendali. Stadion lama Mestalla tak kunjung terjual, sementara Bancaja (yang kemudian berganti nama menjadi Bankia) selaku kreditor  tidak memiliki dana untuk memberikan pinjaman. Proses konstruksi Nuovo Mestalla pun terhenti.

Di tengah pembangunan stadion, Soler masih saja melakukan tindakan inefisiensi. Tercatat pemain-pemain seperti Joaquin Sanchez, Francesco Tavano, Ever Banega, Manuel Fernandes, Nikola Zigic dan Javier Arizmendi datang dengan menguras keuangan senilai lebih dari 100 juta euro. Performa pemain-pemain ini tidak sebanding dengan harga dan gaji mereka. Prestasi Valencia kemudian mengalami kemunduran. Sejak meraih gelar La Liga terakhir tahun 2004, trofi juara baru datang lagi tahun 2007 yaitu Copa Del Rey, disusul Super Copa setahun kemudian. Namun prestasi buruk mereka ukir di La Liga dengan hanya menduduki peringkat 10.

Llorente kembali, kali ini sebagai presiden tahun 2009. Saat itu, ia diwarisi Soler dengan hutang 550 juta euro, atau nyaris tiga kali lipat sejak saat Soler menjabat sebagai presiden. Valencia juga memiliki rataan kerugian 20 juta euro per tahun. Llorente berusaha menciptakan stabilitas, baik di lapangan maupun finansial. Langkah pertama Llorente adalah mempertahankan Unai Emery di kursi kepelatihan. Hasilnya tokcer, Emery membawa Valencia stabil di zona Liga Champions selama tiga musim beruntun. Hal yang menambah pemasukan klub secara signifikan.

Di samping itu, Llorente mengambil langkah logis namun tidak populer yaitu menjual para bintang. Raul Albiol dijual tahun 2009, disusul David Villa dan David Silva tahun 2010, lalu Juan Mata tahun 2011. Penjualan mereka menghasilkan 110 juta euro. Ditambah pelepasan pemain bergaji tinggi namun bekontribusi medioker macam Zigic, Manuel Fernandez, Joaquin dan Asier Del Horno, pelan-pelan Valencia mengukir profit dan mengurangi hutang. Hutang Valencia sempat turun hingga menjadi 275 juta euro, atau turun setengahnya saat awal Llorente menjabat sebagai presiden.

Valencia era Llorente memang tanpa trofi. Namun penurunan hutang secara signifikan sekaligus menjaga stabilitas sebagai Valencia tim elit adalah sebuah jasa yang teramat besar. Ia juga berhasil meyakinkan kreditor untuk melanjutkan kucuran dana demi penyelesaian pembangunan Nuovo Mestalla.

FC Porto, Tidak Sekadar Beli Murah Dan Jual Mahal

Apakah tujuan sebuah tim sepak bola mengikuti kompetisi? Apakah memenanginya atau sekadar terus berpartisipasi saja sembari mengeruk keuntungan? Ketika sebuah klub sepak bola mencoba meraih keduanya, berprestasi sembari mempertahankan stabilitas finansial, maka butuh cara yang di luar kebiasaan untuk mewujudkannya.

FC Porto adalah klub sepak bola dari negara yang bukan tergolong kaya di Eropa, Portugal. Di negeri sendiri pula, Porto tidak berasal dari Lisabon, kota terbesar sekaligus ibukota Portugal. Pada era 60an, prestasi mereka dikangkangi oleh Benfica, klub ibukota yang menjadi kesayangan dari Antonio de Oliveira Salazar sang Perdana Menteri yang menjabat di era tiga Presiden. Industri sepak bola mereka juga tidak sesemarak negara-negara utama sepak bola Eropa. Sulit bagi Porto sebagai brand sepak bola untuk menyejajarkan diri secara konsisten dengan klub-klub terbaik Eropa, lalu menjadi klub top dunia yang memiliki reputasi global.

Industri sepak bola Portugal tidak memungkinkan klub-klubnya untuk mendapatkan guyuran hak siar televisi yang melimpah seperti yang terjadi di Inggris atau tetangga mereka Spanyol. Total hak siar yang diterima klub-klub Portugal hanya sepersepuluhnya dibanding Spanyol, dan seperduapuluhnya dibanding Inggris. Itu baru hak siar, belum melihat pada unsur lain seperti pendapatan komersial maupun jumlah penonton yang menonton langsung di stadion. Tidak perlu menjadi jenius untuk menyimpulkan bahwa kekuatan ekonomi Porto tidak dapat menyaingi para raksasa Eropa.

Saat ini adalah era di mana uang mampu membeli prestasi. Sederhana saja, dengan uang melimpah, klub anda dapat dilatih oleh juru taktik kelas dunia, skuat anda juga akan berkelas dunia, ditambah lagi infrastruktur klub akan berkategori state of the art. Uang adalah resep kesuksesan atau setidaknya resep untuk bertahan, suka atau tidak. Porto menyadari hal ini, menyadari jika uang adalah faktor yang amat penting dalam kesuksesan. Mereka tidak memalingkan muka dari industri sepak bola dunia, melainkan berusaha memantaskan diri untuk sejajar dengan klub-klub besar Eropa dengan cara mereka.

Porto tidaklah memiliki pendapatan setinggi klub-klub Inggris. Sebagai ilustrasi, pendapatan mereka hanya sepertiga yang diraih Arsenal dan seperlima dari Manchester United. Lebih jauh lagi, dibandingkan dengan Real Madrid yang mampu meraih pendapatan diatas 500 juta euro, pendapatan Porto sungguh tidak ada apa-apanya. Namun hebatnya, Porto tetap mampu meraih profit dan tidak memiliki hutang yang menggunung sehingga aman dari tes Financial Fair Play (FFP). Baru di tahun 2012 saja mereka meraih kerugian cukup signifikan 35 juta euro, jumlah itu kebanyakan berasal dari biaya gaji pemain yang memang terus meningkat.

Porto memasukkan satu unsur lagi untuk mereka jadikan sebagai sumber pendapatan, yaitu melalui transfer pemain. Lho, bukannya semua klub melakukan hal itu? Tentu saja, namun rasanya hanya sedikit saja yang melakukannya dengan cerdik dan penuh perhitungan seperti Porto. Klub berjuluk Dragoes ini tidak sekadar membeli dengan harga murah lalu menjual dengan harga tinggi, tidak sesederhana itu. Ada serangkaian game plan yang mereka telah rumuskan dengan sangat sistematis dan brilian.

Penjualan harga tinggi setelah membeli dengan harga rendah jelas merupakan salah satu strategi Porto. Keuntungan tertinggi dari sektor transfer pemain ini mereka dapatkan dari Radamel Falcao, yang mereka beli 5 juta euro dari River Plate, untuk kemudian mereka jual 49 juta ke Atletico Madrid. James Rodriguez juga mencatatkan keuntungan 37 juta euro setelah AS Monaco membelinya. Secara total, situs transfermarkt mengemukakan bahwa Porto telah meraih keuntungan lebih dari 250 juta euro dalam 10 tahun hanya dari pergerakan mereka di bursa transfer, atau kasarnya 25 juta euro per tahun alias hampir sepertiga dari total pendapatan mereka.

Melihat skuat Porto sekarang, pemain-pemain yang potensial menghasilkan keuntungan puluhan juta euro bagi Porto berikutnya antara lain Jackson Martinez, Juan Fernando Quintero, Alex Sandro, Fernando dan Sylvestre Varela. Jackson Martinez memiliki nilai pasar Martinez adalah 25 juta euro. Sebuah nilai fantastis bagi pemain yang dibeli dengan harga ‘hanya’ 8,8 juta euro saja.

Lalu jika memang tidak sekadar beli murah jual mahal, apakah strategi Porto lainnya? Tidak lain adalah kebijakan pembelian dan pengelolaan pemain yang mereka lakukan. Untuk bisa mendapat keuntungan besar ketika menjual, Porto tidak sembarang membeli pemain. Pemandu bakat mereka memiliki wilayah kerja khusus untuk memantau pemain-pemain yang menjadi target potensial. Wilayah-wilayah itu adalah negeri sendiri Portugal dan Amerika Latin. Seperti halnya klub Italia Udinese yang gemar mencaplok pemain-pemain ‘antah berantah’ dari Amerika Latin, Porto juga demikian.

Seperti potret klub sukses lainnya, Porto juga hanya membeli pemain-pemain dengan kriteria usia muda, dengan usia maksimal 24 tahun. Selain bertujuan memaksimalkan keuntungan dari harga jual ke depan, keuntungan mendatangkan pemain muda yang belum terkenal adalah para pemain ini dapat mereka didik dengan maksimal sesuai filosofi klub. Para youngsters ini kelak akan menjadi tulang punggung tim untuk berprestasi di kompetisi domestik dan melaju sejauh mungkin di Liga Champions. Liga Champions sangat penting artinya bagi mereka, di samping untuk menaikkan reputasi, juga meningkatkan pendapatan secara signifikan. Saat mereka menjuarai kompetisi tersebut tahun 2004 di bawah arahan Jose Mourinho, mereka mendapatkan kue hak siar dari UEFA sebesar 40 juta euro, di luar hadiah. Padahal, dari liga domestik yang mereka ikuti, pendapatan hak siar mereka kurang dari 10 juta euro.

Porto memiliki keuntungan historis dalam menggaet pemain dari Amerika Latin, khususnya Brasil. Sebagai bekas jajahan, Brasil juga menggunakan bahasa Portugis, hal yang tentu saja memudahkan proses adaptasi pemain-pemain asal Brasil yang umumnya memiliki talenta besar. Udinese, klub yang memiliki strategi kurang lebih sama dengan Porto tidak memiliki faktor ini. Untuk itu mereka memalingkan sasaran ke negara second layer sepak bola Amerika Latin seperti Kolombia, Uruguay maupun Paraguay. Namun Porto juga tidak anti pada pemain-pemain dari negara second layer tersebut, hal ini terbukti dengan bercokolnya pemain-pemain asal Uruguay dan Kolombia dalam skuat, bahkan pemain-pemain asal Argentina dan Meksiko juga tidak luput dari sasaran mereka.

Porto tidak memiliki akademi sebaik Sporting Lisbon, rival mereka dari ibukota yang terkenal menghasilkan Luis Figo, Simao Sabrosa, Cristiano Ronaldo maupun Joao Moutinho. Meski demikian, Porto turut menghasilkan pemain-pemain belakang tangguh semacam Ricardo Carvalho, Bruno Alves dan Jorge Andrade. Karena akademi mereka tidak sebaik Sporting itulah mereka banyak membeli pemain-pemain asal Portugal seperti Ricardo Pereira dan Carlos Eduardo. Pembelian pemain dari negeri sendiri ini juga penting artinya untuk memperkuat cita rasa lokal pada tim ini.

Satu hal penting lainnya adalah kemampuan Porto dalam mengelola pemain dan menentukan waktu yang pas untuk menjual mereka. Dengan tradisi sebagai klub besar, Porto tentu mengedepankan standar tertinggi dalam permainan mereka, yaitu standar yang diperlukan untuk menjadi juara, tidak sekadar survival. Porto telah memenangi 27 gelar liga Portugal, nomor dua terbanyak setelah Benfica yang mengumpulkan 33 titel. Dua dari tiga musim yang Porto lalui bahkan berakhir tanpa sekalipun menderita kekalahan. Dalam satu dekade terakhir, mereka telah memenangi lebih dari 10 trofi.

Kemenangan jelas menjadi mentalitas dasar mereka, yang tentu saja menular pada pemain-pemainnya yang kelak berharga mahal. Porto tidak akan menjual seorang pemain kunci jika mereka belum mendapatkan penggantinya yang sepadan. Penjualan James Rodriguez telah diikuti oleh pembelian Juan Fernando Quintero. Di masa lalu, mereka juga telah membeli Falcao untuk menutupi kepergian Lisandro Lopez. Selalu ada pengganti, selalu ada regenerasi. Mereka tahu benar karakteristik pemain yang mereka butuhkan untuk membentuk tim juara. Dalam hal ini, kinerja tim pemandu bakat mereka layak diacungi jempol.

Meski kerap menjual pemain-pemain kunci tersebut, namun prestasi tidak lantas menurun. Prestasi yang mereka ukir juga bukan sekadar kelas lokal, karena di ajang Eropa nama mereka juga harum. Sejak tahun 2000an, mereka telah memenangi dua gelar Europa League dan sebuah Liga Champions. Sebuah pembuktian yang lebih dari cukup.

Dengan filosofi cantik seperti ini, Porto akan terus menjadi tim besar. Tim yang tidak sekadar beli murah jual mahal dan mencetak profit, tapi lebih dari itu, berprestasi dan merebut trofi.

Udinese Model Sudah Ideal, Namun Butuh Modifikasi

Dua klub tertua di Italia adalah Genoa dan Udinese. Seiring waktu berlalu, dua klub ini terjebak di antara hegemoni raksasa-raksasa Italia, dua dari Milan dan satu dari Turin. Mediokritas harus mereka rasakan.

Udinese, seperti halnya Genoa, melakukan model bisnis trading pemain yang kurang lebih sama. Namun Udinese, lebih dari Genoa, melakukannya dengan sistematika yang telah terintegrasi dengan kebijakan klub lainnya. Jika kita melihat Genoa tidak konsisten, Udinese tetaplah stabil menduduki zona Eropa.

Giampaolo Pozzo adalah potret presiden klub Italia yang seperti halnya presiden klub Italia lainnya, tidak lepas dari skandal. Ia membeli klub itu dalam keadaan terhukum pengurangan poin terkait skandal yang menyeret mereka tahun 1985. Pengurangan sembilan poin pada era penghitungan poin lama (kemenangan hanya dihargai 2 poin) adalah jumlah yang terlalu banyak. Meski Pozzo mendatangkan pemain semisal bek Fulvio Colovatti, anggota tim juara dunia Italia empat tahun sebelumnya, jeratan degradasi tak terhindarkan.

Empat tahun kemudian, Pozzo terbukti bersalah dalam skandal pengaturan pertandingan yang melibatkan Udinese dengan Lazio. Hal ini mendongkelnya secara paksa dari posisi Chairman, meski status sebagai pemilik masih tetap disandang. Sejak saat itu, Udinese menjadi klub yo-yo yang wara-wiri ke Seri A dan Seri B. Tidak ingin lagi terjebak dalam permainan kotor, ia menggunakan cara lain. Sebuah cara yang kelak menjadikan klub ini menyandang julukan terhormat tidak resmi dalam dunia sepak bola, yaitu The Udinese Model.

The Udinese Model

Udinese tidak memiliki sumber dana memadai untuk bersaing dengan klub-klub raksasa, mereka hanya memiliki stadion berkapasitas 30 ribu penonton dan berada di kota berpenduduk 100 ribu jiwa. Sejarah dan tradisi kuat juga tidak punya. Alhasil, sulit bagi mereka menggaet sponsor premium dan kontrak besar hak siar televisi yang mampu membiayai pengeluaran tim.

Sudah banyak yang membahas tentang Udinese Model, namun tidak salah jika sebuah hal baik terus dibicarakan dan dibahas agar menjadi inspirasi. Model bisnis ini telah dimulai sejak tahun 1995, hal itu ditandai penggunaan sistem jaringan pemantauan pemain yang sangat efektif, lalu mendidik pemain-pemain itu hingga siap dijual dengan harga mahal.

Seperti kisah kesuksesan pada umumnya, Pozzo tidak melakukannya sendirian. Ia menjalankan model bisnis klubnya bersama anaknya, Gino dan juga seorang direktur olahraga yang ia transfer dari Pescara, Pierpaolo Marino. Marino inilah yang memilih pemain-pemain yang namanya telah disodorkan oleh tim pencari bakat. Ia juga turun tangan dalam negosiasi harga pemain dengan klub pemiliknya. Target pembeliannya adalah pemain hidden talents berusia muda, tidak lebih dari 23 tahun. Udinese juga memalingkan muka dari pemain-pemain muda asal Italia yang di samping lebih mahal, kebanyakan dari mereka juga telah berada dalam radar pemandu bakat klub-klub besar.

Cakupan pencarian bakat Udinese sangat luas. Amerika Latin, Afrika, kawasan Balkan dan Eropa Utara diutamakan, meski sempat juga mereka mendatangkan Winston Parks, pemain asal Kosta Rika yang berada di region Amerika Tengah. Untuk pemain Brasil, mereka tidak menggaetnya dari klub besar, tidak pula berebut membeli pemain-pemain yang sudah terkenal. Alih-alih mencari pemain ke klub Sao Paulo, Internacional atau Santos, mereka mencari pemain Brasil dengan bakat tak terdeteksi ke klub seperti Botafogo.

Keberhasilan Udinese Model diawali dengan Oliver Bierhoff, bomber asal Jerman yang kala itu direkrut dari Ascoli senilai 1 juta euro. Bersama Bierhoff dan di bawah asuhan pelatih Alberto Zaccheroni, Udinese meraih peringkat ketiga kompetisi musim 1997/1998. Bierhoff sendiri kemudian dijual ke Milan dengan nilai 10 kali lipat dari harga belinya.

Cerita Bierhoff ini kemudian berlanjut ke Marcio Amoroso. Amoroso dibeli Parma tahun 2000 dengan nilai transfer 28 juta euro, pendapatan transfer terbesar mereka yang masih bertahan hingga kini. Ada pula penjualan Stefano Fiore ke Lazio dengan nilai 25 juta euro, hingga penjualan Alexis Sanchez ke Barcelona dengan nilai 26 juta euro. Penjualan-penjualan tersebut menghasilkan pendapatan sekitar 400 juta euro sejak tahun 1996, atau kasarnya mereka menerima 23 juta euro per tahun dari sektor transfer, setengahnya dari pendapatan mereka yang kurang dari 50 juta euro.

Feeder Club, Penyekolahan Pemain, dan Kesuksesan yang Menular

Ada lagi cerita unik dari implementasi The Udinese Model. Para pemain yang pernah bermain untuk Udinese memiliki perjalanan karir yang kurang lebih sama. Didatangkan dengan harga murah dari klub tidak terkenal, dipinjamkan dulu ke klub lain, bermain baik di Udinese, dibeli mahal oleh klub besar, lalu meraih kejayaan di klub barunya. Bierhoff meraih scudetto di musim perdananya bersama Milan, sementara Alexis Sanchez juga meraih trofi La Liga bersama Barcelona. Udinese adalah batu loncatan yang sempurna.

Udinese tercatat memiliki 50 orang pemandu bakat dan memiliki kontrak dengan jumlah pemain yang juga sangat banyak. Mengingat mereka hanya membutuhkan sekitar 24-25 pemain dalam semusim, tentu saja kondisi ini mengakibatkan terjadinya surplus.

Pemain-pemain yang banyak didapat dari scouting ini tentu tidak semuanya dapat langsung terpakai. Seperti disinggung sebelumnya, mereka pada umumnya akan disekolahkan dulu ke klub lain sebelum dipandang siap menghuni skuat Udinese. ‘Penyekolahan’ itupun dilakukan dengan cermat. Alexis Sanchez misalnya, ia dibeli dari klub Chile, Cobreloa saat ia berusia 16 tahun dengan nilai 3 juta euro. Mereka tidak memboyong langsung sang pemain ke Italia, namun lebih dulu menyekolahkan sang wonderkid ke klub Colo-Colo dan River Plate yang secara geografis masih dekat dengan kampung halaman sang pemain. Mereka menyadari betul resiko yang timbul jika seorang pemain berbakat dibeli terlalu cepat. Setelah Sanchez dinilai siap, barulah ia diangkut ke Friuli. Hasilnya bisa dilihat sendiri.

Agar surplus pemain tersebut tidak mubazir, mereka juga menjalin kerjasama dengan dua klub, Granada dan Watford. Granada dipilih karena klub ini berbasis di Spanyol dan tentunya berbahasa Spanyol, bahasa yang sama dengan para pemain asal Amerika Latin. Keuntungan kesamaan bahasa dan budaya yang dimiliki Granada dinilai cocok dijadikan sebagai pelabuhan pertama seorang pemain Amerika Latin yang ingin berkarir di Eropa. Sementara Watford dipilih karena klub ini memiliki akademi pemain yang bagus. Kerjasama ini menguntungkan bagi masing-masing pihak. Udinese dapat mematangkan pemain-pemainnya, sementara Granada dan Watford mengalami peningkatan prestasi karena pemain-pemain pinjaman tersebut.

Udinese tidak hanya menghasilkan alumni pemain yang bagus, tapi juga staf yang kompeten. Marino, sang direktur olahraga, pindah ke Napoli tahun 2004 lewat bujukan Aurelio De Laurentiis. Sekarang, semua orang tahu berada di mana Napoli. Marino sendiri sejak 2012 telah pindah ke Atalanta untuk menjadi general manager. Kepindahan Marino berpotensi menjadikan Atalanta sebagai kekuatan menakutkan mengingat klub ini terkenal sebagai produsen pemain-pemain berbakat asli Italia.

Udinese juga menyajikan cerita menarik di Premier League. Ellis Short, pemilik Sunderland asal AS pada akhir musim lalu sempat mengambil langkah kontroversial dengan membubarkan tim pencari bakat klubnya. Ia kecewa dengan kinerja pemain-pemain yang didatangkan hasil rekomendasi tim pencari bakatnya. Short yang terkesan dengan model scouting Udinese lalu menarik Valentino Angeloni sebagai direktur olahraga klub. Angeloni adalah kepala pemandu bakat Inter Milan yang juga pernah menjadi bagian dari pemandu bakat Udinese.

Game Plan Baru

Seberapapun hebatnya sistem yang dibuat oleh manusia, pasti ada kelemahannya. Dan sudah sewajarnya kelemahan tersebut menjadi ruang untuk terciptanya inovasi baru. Udinese memang mampu menghasilkan profit dari penjualan pemain, berimbas pula pada neraca keuangan yang stabil. Namun permasalahan timbul setiap tahun karena mereka sering menjual pemain kunci tanpa mempersiapkan suksesor yang mumpuni.

Dengan demikian, mereka sangat bergantung pada dua sosok kunci, yaitu pelatih Francesco Guidolin dan kapten Antonio Di Natale. Dua orang ini selalu menjadi katalis performa Udinese di lapangan. Mereka mampu mempertahankan level permainan Udinese di papan atas selama bertahun-tahun. Pertanyaannya, sampai berapa lama lagi? Terlebih, Di Natale yang semusimnya nyaris selalu mencetak lebih dari 20 gol kini sudah memasuki usia senja.

Beberapa kritik juga sempat mampir ke klub ini terkait komposisi pemain yang terlampau kosmopolitan. Bagaimana tidak, pada Piala Dunia 2010 lalu mereka menyumbang total 8 pemain ke berbagai negara namun hanya Di Natale yang berkostum Italia. Meski tetap berprestasi, namun terlalu sedikitnya kesempatan pemain-pemain asli Italia untuk merumput di sana tentu bukan kondisi ideal.

Pada prinsipnya, Udinese Model yang telah berjalan nyaris dua dekade ini hanya bertujuan untuk mengoperasikan tim dengan rasional. Tidak untuk menyaingi tim papan atas, tidak pula mengangkat level tim lebih tinggi lagi dari ini. Namun pendukung mereka tentu saja cukup gemas melihat fenomena ini karena mereka merasa tim kebanggaannya memiliki potensi lebih besar andai saja mereka rela menahan bintang-bintangnya lebih lama lagi di Friuli.

Untuk itulah Udinese perlu menjalankan game plan lainnya yang bertujuan untuk menambah sumber pendapatan. Pozzo sendiri pernah mengatakan bahwa klubnya membutuhkan Liga Champions demi memperoleh pendapatan hak siar televisi dan memperkuat brand. Renovasi stadion Friuli juga menjadi agenda mereka demi menarik minat penonton.

AC Milan Dan Pengelolaan Brand Image

Liga Italia Seri a era 90an adalah surga penggemar sepak bola. Setiap pekannya, anda dapat menyaksikan bagaimana pertarungan antara penyerang tajam semisal Gabriel Batistuta atau Ronaldo Luiz Nazario dengan bek tangguh Alessandro Nesta atau Paolo Maldini, begitupula pertarungan taktik antara Marcelo Lippi dengan Sven Goran Eriksson dan Fabio Capello. Liga fantasi dengan atmosfer luar biasa tersebut rasanya terlalu cantik untuk dilupakan.

AC Milan adalah klub Seri a dengan reputasi harum. Merekalah salah satu klub yang lewat prestasi dan pertunjukan glamornya menaikkan reputasi Seri a. Bahkan, la sette magnifico yang mereka bentuk bersama Juventus, Inter, Lazio, Roma, Parma dan Fiorentina adalah gravitasi yang mampu menghisap jutaan penggemar sepak bola untuk menonton aksi-aksi mereka.

Rekor-rekor transfer yang mencengangkan dunia awalnya dibuat oleh klub-klub Seri a, dan Milan adalah salah satu pelakunya. Mereka membeli penyerang Prancis, Jean Pierre Papin dengna nilai 10 juta pounds yang mereka lanjutkan dengan pembelian termahal dunia atas nama Gianluigi Lentini senilai 13 juta pounds. Milan memang memanfaatkan benar economic bonanza yang mereka nikmati setelah Silvio Berlusconi mengakuisisi klub tahun 1986 silam. Dan strategi Milan dalam rangka mengglobalkan diri adalah di bursa transfer dengan cara mendatangkan pemain-pemain bintang guna memperkuat reputasi, di samping mengejar prestasi.

Milan sekarang bukanlah Milan 20 tahun silam ketika mereka mampu memecahkan rekor pembelian pemain termahal dunia. Mereka sempat mendatangkan Mario Balotelli dengan cara mencicil pembayaran selama 5 tahun, itupun setelah Alexandre Pato dilepas terlebih dahulu. Milan bahkan rela menunggu Keisuke Honda dari CSKA Moskow demi transfer gratis. Milan harus menjual lebih dahulu sebelum membeli. Seirama pula dengan reputasi Seri a kini, beralih dari liga tujuan pemain bintang menjadi liga transit pemain calon bintang.

Sejak hantaman kasus calciopoli, hingga tersusul Bundesliga dalam koefisien peringkat UEFA, Seri a tidak lebih dari potret kesuksesan masa lampau, potret skandal maupun potret salah kelola. Banyak bintang-bintang kompetisi ini hijrah ke Premier League, La Liga, bahkan sekarang ke Ligue 1 dan liga Rusia bukan tanpa sebab. Transfer masuk ke Seri a yang tidak banyak melibatkan nama-nama besar adalah konsekuensi yang kini harus dijalani.

Sepak bola Italia memang telah lama identik dengan skandal. Skandal Totonero tahun 80an menjerat beberapa pemain, bahkan pemain nasional tim Gli Azzurri. Disusul skandal Calciopoli yang melibatkan klub-klub besar seperti Juventus, Milan dan Fiorentina, lalu skandal Calcioscomesse yang melibatkan beberapa pemain. Terkait laporan keuangan, 41 klub Italia baik dari seri a maupun divisi dibawahnya kini sedang diinvestigasi terkait dugaan money laundering, pemalsuan dokumen, hingga penggelapan pajak.

Situasi ini tentu mencerminkan kompetisi yang kurang kredibel. Akuntabilitas keuangan juga dipertanyakan mengingat dikabarkan banyak pajak yang digelapkan dalam transfer pemain. Tidak heran, investigasi ini turut melibatkan 12 agen pemain. Pendeknya, terlalu banyak penyalahgunaan terjadi di sepak bola Italia. Secara umum, memang bisnis sepak bola tengah menurun di banyak negara dikarenakan krisis ekonomi, namun penurunan yang dialami Italia termasuk paling parah.

Skandal-skandal ini cukup berpengaruh pada keinginan orang untuk menonton langsung di stadion. Disamping kondisi stadia yang pada umumnya memang sudah tua dan kuno (revitalisasi gagal pasca kekalahan bidding Italia untuk menjadi tuan rumah Euro 2016), berbagai faktor lain seperti tawuran suporter, rasisme yang kian mengkhawatirkan dan juga mulai terciptanya kultur menonton sepak bola di pub atau kafe memang berpengaruh besar pada penurunan jumlah penonton yang hadir.

Padahal, pemasukan dari tiket penonton adalah salah satu unsur penting pendapatan klub sepak bola. Dalam hal ini, klub-klub Inggris seperti Manchester United atau Arsenal menikmati pemasukan diatas 100 juta euro setahun hanya dari tiket pertandingan. Milan sendiri dengan rataan penonton 48 ribu per pertandingan (turun dari 53 ribu musim sebelumnya) hanya mampu meraup 33 juta euro, atau hanya sepertiga dari Arsenal dan Manchester United. Bahkan dibandingkan dengan Chelsea yang memiliki stadion berkapasitas setengahnya dari Milan, penerimaan mereka dari sisi penonton bisa mencapai 96 juta.

Brand Management Milan

Sadar akan pemasukan yang cenderung stagnan dari sisi penonton dan media (dan sulit meningkatkannya dalam waktu dekat), Milan menggenjot sektor lainnya, yaitu komersial. Klub-klub Seri a dinilai kurang maksimal dalam kegiatan pemasaran. Mendunianya liga Inggris salah satunya adalah karena tepatnya strategi marketing yang menyebabkan terciptanya brand image yang kuat dan mengglobal. Butuh waktu untuk membentuk suatu image, dan klub-klub EPL telah memetik hasilnya.

Milan sadar akan hal itu.

“Klub-klub Italia harus mencontoh klub-klub dari Inggris dalam hal memperkuat brand,” demikian ungkapan Barbara Berlusconi, Director of Special Project di Milan yang juga putri Silvio Berlusconi. Barbara tidak asal bicara, karena dalam hal pendapatan komersial Milan memang yang terbaik di Italia.

Selisih pendapatan komersial Milan dengan klub-klub besar Italia lainnya terlalu jauh. Juventus mungkin akan mendekati dalam waktu dekat lewat visi Andrea Agnelli. Agnelli, Presiden Juventus berusia 37 tahun terang-terangan menganggap klub-klub Italia tertinggal segalanya dari klub-klub Inggris, Spanyol maupun Jerman. Dikatakannya, sepak bola Italia perlu meniru Inggris dalam hal stadion, meniru Spanyol dalam hal kebebasan klub besar pada negosiasi hak siar, dan meniru klub Jerman dalam hal besarnya nilai corporate sponsorship.

Milan memang masih memiliki PR dalam hal stadion dan media. Penyelesaian masalah tersebut tentu akan memakan waktu yang lama. Namun untuk revitalisasi kegiatan komersial, Milan telah memulai konsep marketing baru mereka lewat kerjasama dengan Infront Sport & Media (sebuah perusahaan marketing olahraga berbasis di kota Zug, Swis) sejak tahun 2010 lalu, terdapat peningkatan signifikan nyaris 50% dari pendapatan komersial.

Perubahan tersebut salah satunya terdapat dalam wujud pengklasifikasian perusahaan yang menyeponsori Milan menjadi 4 hirarki, yaitu Top Sponsors, Premium Sponsors, Official Partners dan Official Suppliers. Hirarki tersebut digunakan Milan untuk meningkatkan level eksklusifitas dan pelayanan terbaik bagi perusahaan-perusahaan rekanan tersebut. Tingkat eksklusifitas ini diwujudkan dalam penyediaan area khusus di San Siro dengan sudut pandang panoramik, balkon, dan jamuan makan kelas satu. Implementasi strategi yang berada di bawah Marketing Manager Laura Masi ini nyatanya sukses besar.

Bahkan jika dibandingkan dengan klub-klub EPL, yang memang terkenal memiliki image yang mendunia, perolehan Milan masih mampu menyaingi Liverpool, Chelsea maupun Arsenal. Mereka hanya kalah dari Manchester United dan Manchester City. United sebagaimana diketahui adalah sebuah klub sepak bola dengan pendukung terbanyak di dunia, sementara City mendapatkan pemasukan banyak dari nilai sponsorship yang mereka dapat dari Etihad.

Dari kancah Eropa, Milan bahkan menduduki peringkat ke 8 dalam hal pendapatan komersial. Mereka mengalahkan klub-klub seperti Chelsea, Juventus, Arsenal, juga klub-klub Prancis. Infront Sports & Media ditugaskan untuk menangani urusan sponsorship Milan, diluar kit suppliers. Pendapatan komersial Milan memang cukup tinggi berkat sokongan 12 juta euro plus bonus setahun dari sponsor utama Fly Emirates hingga 2015 (kabarnya akan diperpanjang dan ditingkatkan). Jumlah ini sama dengan yang diterima Inter dari Pirelli, namun masih dibawah Juventus yang bersama Jeep menjalin kerjasama senilai 35 juta euro untuk tiga tahun. Sementara Adidas sebagai penyedia seragam dan perlengkapan mendanai 17,5 juta euro setahun plus bonus.

Pendapatan Milan hanya kalah dari tim-tim yang memang memiliki nilai sponsor utama di atas 20 juta euro setahun seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Bayern Muenchen dan Liverpool. Namun di luar faktor tersebut, tim marketing Milan telah melakukan pekerjaan dengan baik. Revolusi juga dilakukan Milan dalam hal peremajaan skuat dan kebijakan transfer. Keberadaan pemain bintang muda, yang terutama berasal dari Italia tetap menjaga cita rasa Milan sebagai tim lokal sekaligus mengubah citra sebagai tim yang muda dan segar. Sebuah reposisi branding yang cermat setelah dalam beberapa tahun kebelakang Milan lebih identik sebagai tim yang mengandalkan para old guard. Jika mereka mampu menggenjot pendapatan dari sektor penonton dan media, maka setidaknya tim ini dapat bertahan dalam posisi 10 besar klub dengan pendapatan tertinggi di Eropa.